Kain-kain batik yang terpampang di salah satu ruangan Hotel The Palace, San Francisco, Amerika Serikat, awal November lalu membuat kita terkaget-kaget. Ada yang bermotif bison, koboi, gandum, hingga motif QR code. Motif-motif itu jauh dari pikiran orang-orang Indonesia yang akrab dengan batik. Batik telah melangkah jauh, dari sekadar milik Indonesia menjadi milik dunia.
Elizabeth Urabe, Joanne Giglotti, dan Kelly Cobb terus mengumbar senyum. Peluk cium dan jabat tangan bertubi-tubi menimpa mereka. Ketiganya tengah menerima ucapan selamat dari rekan-rekannya dan juga orang Indonesia yang menghadiri pengumuman pemenang American Batik Design Competition dalam acara yang dikemas dengan nama Indonesia Celebration Dinner.
Mereka adalah tiga orang yang meraih juara pertama lomba itu. Ada juga tiga orang yang mendapat juara kedua dan tiga orang lainnya yang mendapat juara ketiga.
Pameran batik di salah satu ruangan di Hotel The Palace itu merupakan pameran karya-karya mereka dan karya pebatik lainnya. Karya-karya yang dipampang di bagian utama ruangan itu diapresiasi banyak kalangan.
”Saya belum pernah ke Indonesia. Saya belum pernah membatik. Ketika saya melihat pengumuman kompetisi ini, saya langsung mengikutinya. Saya senang sekali menjadi pemenang lomba ini,” kata Elizabeth Urabe yang terus tersenyum ketika wawancara berlangsung. Urabe membuat desain dengan judul Divine Unity.
Johana Giglotti, yang memberi nama karyanya Sun Raises from The East, juga mengungkapkan hal yang sama. Ia tak pernah berkunjung ke Indonesia dan tak pernah memiliki pengetahuan soal batik.
Akan tetapi, pengumuman kompetisi batik yang digelar sejak April 2011 telah menantangnya untuk mempelajari desain batik dan mengikuti kompetisi itu. Ia tak menyangka kalau ia menang.
Kelly Cobb yang membuat desain dengan judul Batik With QR Code mengaku kaget bisa memenangi kompetisi tersebut. Ia merasa makin bergairah untuk mempelajari dan mengembangkan desain batik di Amerika Serikat. Ia mengaku akan mempelajari Indonesia dan juga mendalami batik di kemudian hari.
”Saya sendiri kaget melihat karya-karya mereka. Sungguh saya kagum dengan desain mereka. Detail dan filosofi motif. Batik yang masuk dalam kompetisi ini sangat hebat,” kata Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal ketika mengomentari desain para peserta kompetisi itu.
American Batik Design Competition ditujukan untuk warga negara Amerika Serikat. Otomatis pesertanya adalah warga negara Amerika Serikat. Panitia lomba berharap para perancang asal ”Negeri Paman Sam” itu bisa menciptakan desain batik dengan gaya, idealisme, dan inspirasi khas Amerika Serikat.
Sejak lomba ini diluncurkan, sekitar 100 karya masuk dari 18 negara bagian di Amerika Serikat. Dino mengatakan, melalui kompetisi ini warga Amerika Serikat memahami batik melalui caranya sendiri. Melalui para pemenang kompetisi itu, batik akan mendunia melalui cara-cara mereka sendiri.
”Harapannya, batik bukan lagi hanya menjadi milik orang Indonesia, melainkan menjadi milik dunia. Kita tak perlu cemas orang lain mempelajari batik. Kita seharusnya seperti orang Inggris yang bangga dengan bahasa Inggris yang dipakai di seluruh dunia,” kata Dino. Oleh karena itu, setelah kompetisi ini, ia berharap muncul batik khas Amerika Serikat.
Di samping itu, kompetisi desain ini juga menginspirasi semua pihak sehingga kelak muncul desan batik di tempat lain, seperti batik Arab, batik China, dan batik Rusia. Semakin banyak kompetisi di luar negeri maka batik akan makin dipahami oleh warga dunia dengan cara mereka sendiri. Seni batik akan makin diperkaya dengan makin banyaknya warga dunia yang menggeluti seni batik.
”Apa yang kami lakukan masih merupakan pilot project untuk menduniakan batik,” kata Dino. Ia yakin dengan cara seperti ini karya-karya bangsa Indonesia bisa tampil di pentas dunia. Ia yakin selain batik masih banyak karya bangsa Indonesia yang layak diakui dunia.
Para pemenang kejuaraan ini mendapat hadiah uang, yaitu juara pertama mendapat 5.000 dollar AS, juara kedua 2.500 dollar AS, dan juara ketiga 1.500 dollar AS. Untuk tiga orang yang mendapat predikat juara pertama, akan mendapat kesempatan berkunjung ke sentra-sentra batik di Indonesia. Mereka juga akan mendapat pelatihan membatik selama sekitar dua pekan berada di Indonesia.
Ketiga orang itu tak hanya dibawa ke sentra batik di Pulau Jawa, tetapi juga sentra batik di luar Pulau Jawa, seperti Bali, Makassar, Mataram, dan Palembang. Mereka diharapkan memahami keberagaman desain batik di berbagai tempat di Tanah Air.
”Setelah ini saya akan makin memperkenalkan batik ke seluruh dunia,” kata Urabe yang masih tersenyum seusai pemberian penghargaan itu. Ia terus terang penasaran dengan cara pembuatan batik yang belum pernah dikenalnya. Ia yakin bila kelak mengetahui cara membatik, ia akan makin memahami desain-desain batik yang cocok untuk orang Amerika Serikat.
Desainer Tuty Cholid, yang menjadi salah satu juri dalam kompetisi itu, tak kalah terkagum-kagum dengan karya para peserta. Meski kebanyakan belum pernah ke Indonesia dan belum mengetahui seni batik, dari karya-karya yang dikirim cukup memberi harapan batik akan makin dikenal di dunia.
”Saya kagum dengan karya-karya mereka. Mereka bisa mendesain dengan filosofi yang mendalam. Lihat saja karya mereka dengan motif koboi, bison, gandum, dan lain-lain yang langsung memberi kesan Amerika Serikat,” katanya.
Seusai perhelatan itu, Dino dan Ny Rosa Rai Djalal tampak berkaca-kaca. Sudah pasti mereka puas dengan kejuaraan itu. Kerja keras Kedubes RI di Amerika Serikat sepertinya tak sia-sia. Para pemenang pasti akan bercerita soal batik kepada keluarga, kenalan, dan temanteman mereka. Nah, kalau sudah seperti ini, harapan menduniakan batik tercapai.
Tugas lainnya masih menanti. Setelah batik, sepertinya banyak karya atau produk Indonesia yang perlu diduniakan sehingga mata dunia terbelalak ke Indonesia. Sejumlah karya, seperti rendang, kopi, nasi goreng, dan dangdut layak dibawa ke pentas dunia. Melalui karya-karya itu, Indonesia makin harum di mata dunia seiring dengan perkembangan ekonomi yang membaik.
sumber